Senin, 28 November 2016

Emotional Quetion ( EQ ) Or Intelligence Quotient ( IQ )



Korupsi yang membudaya, pelanggaran hak asasi manusia yang merajalela, dan berbagai unsur kriminalitas lain sesungguhnya berakar pada satu penyebab utama, yaitu rendahnya tingkat kecerdasan emosional.


Emosi adalah hasil perkembangan evolusi yang paling lama sdan sangat berpengaruh ketika manusia mengambil keputusan. Tidak ada sama sekali keputusan yang merupakan murni hasil pemikiran rasio, melainkan selalu ada pertimbangan emosional yang disertakan di dalamnya. Daniel Goleman dalam best seller-nya yang berjudul Emotional Intelligencemenyebutkan bahwa yang menentukan sukses dalam kehidupan manusia bukanlah rasio tapi emosi. Kecerdasan emosional diukur dari kemampuan mengendalikan emosi dan menahan diri yang dalam Islam disebut sabar.


Orang-orang yang cerdas secara emosional bersikap sabar dalam menghadapi berbagai cobaan dan tabah dalam mengejar tujuannya. Para pelaku tindakan criminal dari semua jenjang tidak termasuk dalam golongan ini. Ambisi berkuasa atau memiliki harta dengan menghalalkan segala cara adalah contoh tipikal kedunguan emosional. Pelanggaran norma-norma yang berlaku atas nama hasrat mengambil jalan pintas untuk mencapai tujuan telah menurunkan derajat kemanusiaan menjadi setara dengan hewan.


Ada tiga hewan mungil yang menarik untuk dijadikan pembanding sikap-sikap manusia; yaitu semut, laba-laba, dan lebah (M Quraish Shihab, 1994).


Ada manusia yang ‘berbudaya semut’, kerjanya menghimpun dan menumpuk ilmu (tanpa mengolahnya) juga menimbun materi (tanpa disesuaikan dengan kebutuhannya). Budaya semut adalah ‘budaya menumpuk’ yang disuburkan oleh ‘budaya mumpung’. Tidak sedikit problem kemasyarakatan bersumber dari budaya tersebut. Menurut Shihab, pemborosan adalah anak kandung budaya ini yang mengundang hadirnya benda-benda baru yang tidak dibutuhkan dan tersingkirnya benda-benda lama yang masih bagus serta bermanfaat untuk digunakan. Perhatikan berapa banyak karakter semut berkeliaran di sekitar kita.


Sementara mereka yang menganut filsafat laba-laba tidak mau repot untuk memikirkan apa, dimana, dan kapan dia akan makan melainkan ‘siapa yang akan dijadikan mangsa berikutnya’. Pejantan yng dimangsa betinanya setelah melakukan perkawinan dan telur-telur yang ditempatkan berdesakan beresiko memusnakkan bayi-bayi yang baru ditetaskan baik karena tergencet sesame maupun adanya kanibalisme di sarang yang sangat rapuh. Sungguh sebuah karakter yang sangat mengerikan dan, sedihnya, ini juga melekat pada sebagian besar di antara kita.


Lebah adalah teladan yang terbaik. Sangat disiplin dalam pembgian kerja, menyapu bersih segala benda tidak berguna dari sarangnya, dan senantiasa memberikan manfaat bagi lingkungan. Muhammad Saw mendeskripsikan sikap lebah dengan ‘tidak makan kecuali yang baik, tidak menghasilkan sesuatu kecuali yang bermanfaat dan jika terjatuh menimpa sesuatu tidak merusak dan tidak pula memecahkannya’. Lebah juga tidak menyerang kecuali bila diganggu dan segala sesuatu termasuk sarang serta kotorannya pun memiliki nilai manfaat.


‘Tidak makan kecuali yang baik’ mengacu pada upaya pencarian nafkah untuk menghidupi diri secara halal dan thayyibah. Korupsi, merampok, menipu, dan segala aksi kriminal lainnya tentu tidak masuk kategori ini. Lalu ‘tidak menghasilkan kecuali yang bermanfaat’, misalnya membuat tayangan televisi adalah pekerjaan halal namun jika materi yang dihasilkan bersifat merusak moral pemirsanya tentu itu tidak bermanfaat malah mengundang kemadharatan. “Jika terjatuh menimpa sesuatu tidak akan merusak dan tidak pula memecahkannya’ tentu kontradiktif sekali dengan pembabatan pohon-pohon di hutan secara hantam kromo dan serabutan yang mengakibatkan bukan hanya potensi banjir di kala musim hujan tiba namun juga pemusnahan spesies-spesies binatang karena sumber makanannya lenyap dan resiko menipisnya debit air tanah secara ekstrim yang berpotensi menghilangkan persediaan sumber air minum manusia. Mirisnya semua kebrutalan ini dilakukan semata-mata untuk memenuhi nominal rekening di bank.


Kunci dalam meneladani kebaikan perilaku lebah adalah kesabaran. Sabar dalam menghadapi musibah, sabar dalam melakukan ibadat, dan sabar dalam menahan diri untuk tidak melakukan perbuatan maksiat.


Ketiga jenis kesabaran tersebut di atas merupakan hasil akumulasi keyakinan religius (iman) dan kekayaan pendidikan (ilmu), Iman merupakan filter yang akan menyeleksi berbagai keputusan apakah akan direalisasikan dalam bentuk tindakan atau tidak berdasarkan tolok ukur pertimbangan apakah Sang Khalik menyukainya atau tidak. Jika jawabannya ‘ya’, maka tindakan ‘boleh’ dilakukan.’Boleh’ ini akan diuji kembali oleh filter ilmu, berupa kalkulasi biaya yang harus dibayar untuk melakukan tindakan itu dan analisa untung-ruginya. Jika ini juga ‘ya’, maka tindakan ‘bisa segera’ dilaksanakan dengan semaksimal kemampuan yang ada lantas memasrahkan hasilnya pada keputusan Allah Swt. Tuhan kita Maha Pemurah dan Maha Lembut. Percayalah tak ada ketekunan dan kerja keras yang akan tersia-sia begitu saja, meski tujuan awal kita tak tercapai namun pengganti yang diberikanNya sebagai imbalan jerih payah kita pastilah sangat memuaskan.Tinggal mengasah sensor ruhaniah kita untuk mendeteksinya dan kemudian menindaklanjutinya dengan menyesuaikan rencana kita berikutnya dengan panduan itu. Selanjutnya kesuksesan sudah siap dipetik.


Benih iman dan ilmu yang merupakan bahan baku kecerdasan emosional hendaknya desemaikan dalam diri setiap individu, keluarga, dan bangsa. Masa anak-anak yang merupakan periode subur penyerapan nilai-nilai kehidupan hendaknya dimanfaatkan oleh para orang tua untuk mengenalkan buah hati mereka pada keberadaan Sang Khalik dan cara-cara untuk berinteraksi secara benar denganNya. Pastikan anak memahami bahwa semua keindahan dan kegembiraan yang mereka rasakan adalah karunia Allah yang Maha Penyayang. Sementara kesedihan, penyakit, dan hal-hal yang terkesan tidak menyenangkan adalah bagian dari pendidikan Tuhan untuk membuat mahluk-Nya tumbuh menjadi individu-individu yang tegar, tabah, dan mampu berbahagia serta bersyukur pada kondisi apapun. Kesadaran semacam ini akan membuat anak mampu bersabar saat dia harus berhadapan dengan hal-hal yang membuatnya tidak nyaman, seperti tak bias ikut karya wisata karena orangtua tidak mampu, tidak naik kelas, penggencetan teman di sekolah,dan hal-hal buruk lainnya. Seringkali mereka takut atau sungkan bercerita pada orangtua, jadi ajarkan pada mereka untuk ‘curhat’ pada Tuhan yang tak pernah letih mendengarkan keluhan hambaNya. Bila sedari kecil kesabaran dalam susah dan senang sudah ditanamkan, maka di fase remaja dan dewasa pun mereka akan lebih pandai mengendalikan emosi – rasionya hingga bisa menjalani kehidupan sebagai MANUSIA YANG BAIK DAN BAHAGIA.


Bila presentasi manusia yang baik dan bahagia ini meningkat, maka angka kriminalitas pun otomatis akan menurun. Seberapa banyak penurunannya tentu tergantung pada seberapa besar kecerdasan emosional dimiliki oleh masyarakat. Jadi bila menginginkan untuk mengakhiri budaya korupsi yang sudah mengakar dalam bangsa ini atau memiliki generasi penerus yang berkarakter positif kuat dan tidak lantas bunuh diri hanya karena ditinggal pacar, maka segeralah masing-masing kita menebar dan memupuk benih-benih kecerdasan emosional di lingkungan tempat kita mengaktualisasikan diri . Mengutip semboyan pengusaha tangguh asal Bandung KH Abdullah Gymnastiar “Mulai dari sekarang, mulai dari diri sendiri, dan masyarakatkan pada umat’.Dengan demikian diharapkan akan terbentuk masyarakat ideal sebagaimana dideskripsikan dalam QS Al-Fath, 48:29 yaitu bagaikan ‘tanaman yang mengeluarkan tunasnya, maka tunas itu menjadikan tanaman tadi kuat, lalu menjadi besarlah ia dan tegak lurus di atas pokoknya. Tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya…’.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar